“Saya ingin anak-anak muda juga bisa mengembangkan kain tenunan walaupun nanti sudah modern, supaya tidak pupus. Pintu rumah saya selalu terbuka untuk anak muda yang mau belajar bertenun.”
Rohani
Penenun Songket
Sepatokimin Initiative berkolaborasi dengan The Glasgow School of Art, The Borneo Laboratory, dan British Council.
Di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, terdapat sebuah gang yang dahulu adalah pusat pertenunan. Namanya Gang Kelapa.
Empat puluh tahun yang lalu, Gang Kelapa riuh dengan suara ketukan alat tenun. Setiap rumah di jalan kecil ini menghasilkan kain songket tiap hari.
Namun, Gang Kelapa sekarang sunyi
Tersisa satu rumah yang masih bertahan untuk menenun
Rumah milik sepasang suami-istri yang sedang merintis kembali kelompok tenun kecil, Kelompok Tenun Kejora.
Nurhayadi
& Rohani
Orang-orang di Gang Kelapa memanggilnya Bang Adi. Beliau dikenal sebagai mandor bangunan yang terampil dan terpercaya. Sejak tahun 2000, sudah puluhan rumah di kampung itu rampung berdiri atas jasanya.
Tapi, masih sedikit yang tahu bahwa selain ahli konstruksi rumah, Bang Adi juga terampil menenun kain Songket—sebuah keterampilan yang beliau pelajari dari keluarganya di Sambas.
Bersama istrinya, Bu Ani, Bang Adi memproduksi tenun songket dengan alat tenun tradisional bikinannya sendiri.
Berangkat dari teknik tradisional songket melayu Sambas, Bang Adi menciptakan motif-motif baru yangterinspirasi dari kota tempat tinggalnya kini, Singkawang.
Ukiran dari langit-langit Klenteng dan Wihara, bunga lotus dan sakura, dan ragam hias Tionghoa lainnya ikut masuk dalam rangkaian motif di selembar kain songket yang identik dengan kebudayaan Melayu.
Perpaduan dua kebudayaan ini tidak terlepas dari sejarah pertenunan Gang Kelapa.
Semua bermula di tahun 1980...
Ango, begitu beliau biasa dipanggil. Pengusaha berdarah Tionghoa asal Singkawang ini jatuh cinta pada songket khas Sambas. Awalnya Ango belajar menenun Songket dari maestro tenun songket di Sambas. Beberapa lama belajar, beliau menyadari bahwa ternyata dirinya lebih berbakat untuk berdagang. Sekelompok penenun dari Sambas diboyongnya untuk pindah ke daerah yang sekarang menjadi Kota Singkawang.
Rumah-rumah kecil di sepanjang sebuah gang dibangun untuk tempat tinggal. Pun seluruh alat tenun dan bahan benang, semuanya Ango yang menyediakan. Di bawah pimpinan Ango belasan rumah tangga menenun tiap hari, menghasilkan lembaran tenun Songket Melayu Sambas yang cantik, yang dijual sampai ke negeri tetangga, Brunei dan Malaysia. Karena keterampilannya mereparasi peralatan tenun, Bang Adi menjadi salah satu orang kepercayaan Ango. Begitu pula dengan Bu Rohani yang adalah satu dari sedikit penenun yang juga terampil dalam proses sungkit, proses merangkai benang untuk membuat motif pada tenun songket.
Ango meninggal pada tahun 2007 bersama bisnis songketnya. Tokonya di Kota Singkawang tutup. Alat-alat tenun ditarik dari rumah-rumah Gang Kelapa. Gang yang tadinya riuh menjadi sepi. Para penenun mulai mencari pekerjaan lain untuk mencukupi biaya hidup sehari-hari. Tapi tidak dengan rumah Bang Adi dan Bu Rohani. Meskipun alat tenun Ango sudah tidak ada, pengetahuan dan keterampilan membuat alat tenun dan motif songket masih ada di kepala.
Sambas, 70 km jaraknya dari Singkawang.
Di daerah inilah songket yang kita kenal sebagai Tenun Songket Melayu Sambas lahir dan berkembang.
Lahirnya Songket Sambas erat kaitannya dengan tiga kesultanan ini:
Kesultanan Sambas, Sarawak, dan Brunei.
Awalnya, Sultan Brunei meng-hadiahkan selembar kain tenun songket dan seperangkat alat tenun kepadha adiknya yang adalah Sultan Sambas. Kain dipakai pada acara istimewa kesultanan.
Permintaan dari Brunei dan Sarawak sangatlah besar, sehingga muncul banyak pertenunan di kampung tepi sungai di Sambas.
Walaupun lahir di lingkaran kesultanan, dapat dibilang sisi komersial-lah yang membuat tenun songket ini tumbuh dan berkembang di Sambas. Benang-benang didatangkan dari Cina dan India, masuk lewat jalur perdagangan Sumatera dan Malaysia.
Besarnya permintaan tenun songket dari Sarawak dan Brunei mendorong para penenun untuk mengorganisasi diri dan menciptakan alur produksi. Ada ahli memutar dan menyusun benang, ahli menyungkit, dan ahli tenun. Hampir tidak ada perbedaan tugas, peran, ataupun pantangan berdasarkan gender. Laki-laki maupun perempuan dipersilakan ikut serta asal tekun bekerja.
Salah satu maestro tenun tertua di Sambas adalahNadzifa Sub’inatau kerap dipanggil Nek wan, 78 tahun.
Pada masanya, Nek Wan pernah memimpin pertenunan dengan 40 orang pekerja. Menurut cerita Nek Wan, orang Sambas sudah menenun dari zaman nenek moyang. Orang Sambas juga sejak dulu sudah saling kawin-mawin dengan Orang Minang dan Orang Bugis yang juga punya budaya tenunnya masing-masing. Pengaruh itulah yang memperkaya Songket Sambas, selain pengaruh dari Brunei dan Sarawak.
Untuk panduan membuat motif tenun Songket, Nek Wan menggambar sketsa di atas kertas kotak-kotak.
Dalam dialek lokal, sketsa gambar kerja ini disebut juga sebagai
sujibilang.
Nek Wan sudah menciptakan sujibilang motif dari muda, bahkan dari saat kertas dan pensil merupakan bahan langka. Saat itu, beliau membuat sujibilang dengan menyulam di atas karung goni.
Satu tanda silang dalam sketsa umumnya mewakili 2-4 helai benang pakan tambahan yang melewati 8 benang lungsi.
TAHAPAN MENENUN SONGKET SAMBAS
Songket Sambas ditenun dengan alat tenun tradisional. Orang Sambas dan sekitarnya biasa menyebutnya
perumahan tenun.
Perumahan tenun yang biasa dibuat dari bahan kayu, pelepah enau, dan bambu ini terdiri dari banyak bagian yang ternyata berpengaruh banyak dalam menghadirkan kekhasan tenun Songket Sambas.
Bagian kerangka perumahan memungkinkan penenun membuat kain dengan lebar sampai dengan 120 centimeter tanpa sambungan di tengahnya. Bagian karap motif mempermudah penenun membuat songket dengan motif rumit. Sedangkan sisir punya peran besar untuk menghasilkan kain yang padat dan rapi.
Di tengah-tengah bentangan benang lungsi, terdapat sekumpulan benang bernama “Karap Motif” yang fungsinya mengangkat benang lungsi sesuai motif songket.
Penenun terampil seperti Bang Adi mampu membuat perangkat tenunnya sendiri. Namun, ada satu bagian yang perlu keterampilan khusus dalam proses pembuatannya: sisir tenun atau suri dalam dialek lokal.
Di Sambas, hanya tinggal ada 3 perajin sisir tenun tradisional. Pak Rahmat adalah yang termuda. Tiap hari, beliau merangkai 1600 bilah tipis pelepah enau menjadi satu buah suri.
Perlu waktu sampai 5 bulan untuk membuat satu bilah suri dari pengumpulan bahan sampai pembuatan selesai.
Tak sembarang pelepah enau bagus digunakan sebagai material. Pelepah enau didatangkan dari desa tetangga, Pemangkat. Pelepah enau Pemangkat digunakan karena sifatnya yang lebih lentur namun kuat. Gigi suri harus cukup lentur untuk menahan gerakan benang lungsi serta cukup kuat untuk menahan pukulan belida saat benang pakan dirapatkan.
Rahmat, 50
Perajin Suri termuda di Sambas
MATERIAL GIGI SURI +
PERAWATAN SURI +
RITME & KETERAMPILAN PENENUN
kualitas tenun
Klik untuk mendengar ritme alat tradisional saat penenun bekerja
Permintaan suri tradisional dari pelepah enau sempat sangat besar karena penenun Sambas sibuk memenuhi pesanan tenun Songket dari Sarawak dan Brunei yang sangat besar.
“Sejak dulu, ada kebijakan dari pemerintah Brunei untuk membeli kain tenun Songket yang dianggap bagus untuk dikoleksi oleh museum istana negara."
Andri
Budayawan, Dosen
Politeknik Negeri Sambas
Besarnya permintaan dari negeri jiran membuat usaha pertenunan khususnya di Sambas berkembang masif. Kebutuhan tenaga kerja mendorong orang Melayu mengajarkan keterampilan menenun ke etnis lain di Sambas. Tenun Songket tidak hanya dikerjakan oleh orang Melayu, tapi juga oleh penenun Madura dan Tionghoa.
Ketika terjadi eksodus masyarakat Madura ke Pontianak pasca konflik tahun 1999, beberapa keluarga penenun dari etnis Madura membawa serta keterampilan tenun Songket dan membuka usaha pertenunan di Pontianak.
Songket sambas menyebar ke berbagai daerah
dan berasimilasi dengan kebudayaan setempat, lalu muncul dengan motif baru yang khas dari masing-masing wilayah.
Songket
Singkawang
Saat Ini
2019
Songket berkembang dengan campur tangan pemerintah. Pada tahun 2019, mendapatkan bantuan untuk pelatihan pembuatan motif baru bekerjasama dengan Sepatokimin Initiative.
Motif Coban Seledri,
terinspirasi dari bentuk daun seledri yang banyak ditanam di pekarangan rumah di Gang Kelapa.
Motif Bunga Pinca,
terinspirasi dari Bunga Tapak Dara (Catharanthus roseus)
Motif teratai,
terinspirasi dari bunga lotus yang mempunyai arti penting dalam kebudayaan Tionghoa
Tenun Songket Tabur Gang Kelapa ditenun dari benang katun dengan ukuran lebih tipis yang diwarnai dengan tanaman tanpa benang emas —
dahulu
sekarang
Benang emas secara turun temurun digunakan sebagai benang motif Songket Melayu.
dahulu
sekarang
Benang katun pewarna alam mulai digunakan sebagai benang motif songket.
Di beberapa daerah, regenarsi penenun menjadi masalah besar. Menurut Pak Andri Hidayat, per 10 penenun pensiun, hanya 2 penenun baru yang muncul.
Namun saat ini Nurhayadi dan Rohani mulai melatih beberapa orang tetangganya untuk mulai bertenun.
“Saya ingin anak-anak muda juga bisa mengembangkan kain tenunan walaupun nanti sudah modern, supaya tidak pupus. Pintu rumah saya selalu terbuka untuk anak muda yang mau belajar bertenun.”
Rohani
Penenun Songket
Gang Kelapa, yang menjadi asal mula cerita Songket Singkawang,
semoga akan terus menjadi saksi perkembangannya di masa depan.
Untaian Perjalanan Songket Singkawang
Laman interaktif ini adalah bagian dari rangkaian projek Cultural-assets & Vernacular Material oleh Innovation School The Glasgow School of Art dan The Borneo Laboratory.
Hadir dalam pameran bertajuk:
“Serumpun: Crafts across Borders”
Borneo Cultures Museum dan Think & Tink, Sarawak, 2022
Kontributor:
Teks: Gabriella Manurung
Video dan fotogrametri: Yohanes Arya Duta
Fotografi: Wisnu Purbandaru
Desain grafis: Imaniar R Waridha, Kathrinna Rakhmavikka
Pengembang website: Arum Adiningtyas